ABU DZAR SANG PENGIKUT TITAH TANPA TOLERANSI
Abu Zar Alghifari
merupakan sosok pembela kaum lemah, dia memilih hidup miskin namun hidup dengan
kekayaan hati. Baginya ajaran islam dan titah rasulullah SAW mutlak diikuti
tanpa toleransi. Dia juga mendapat banyak pujian dari rasulullah dan mendapat jaminan
syurga. Nama aslinya adalah Judub bin Junada bin Zakr. Namun lebih dikenal
dengan Abu Zar Alghifari karena dia berasal dari suku Ghifar,
suku yang amat ditakuti karena kebiasaannya merampok khafilah dagang yang lewat, dan kebiasaan ini pernah dilakukan oleh Abu Zar.
suku yang amat ditakuti karena kebiasaannya merampok khafilah dagang yang lewat, dan kebiasaan ini pernah dilakukan oleh Abu Zar.
Ketika ia mendengar berita
tentang seorang pemuda yang diangkat sebagai rasul, Abu Zar langsung memutuskan
berangkat ke Makkah seorang diri untuk mencari tahu tentang informasi tersebut.
Sesampainya di Makkah, ia bertemu dengan Ali bin Abi Thalib. Ia berada di Makkah
dan memasuki masjid, namun ia tak memberitahu dan bertanya kepada Ali bin Abi
Thalib tentang tujuannya ke Makkah. Lalu, kesokan harinya Ali bin Abi Thalib
pun bertanya tentang tujuannya datang ke Makkah, yaitu untuk bertemu Rasulullah
SAW.
Lalu Ali bin Abi Thalib membawa
Abu Zar untuk bertemu Rasulullah SAW, setelah bertemu dengan Rasulullah SAW, seketika
itu pun dengan yakin Abu Zar mengucapkan Syahadat dan beriman pada Allah SWT. Abu
Zar yang saat itu telah memeluk islam tanpa ragu untuk menyebarluaskan ajaran
islam secara terang-terangan dan mengumumkan keislamannya didepan masyarakat
Quraisy. Ia dengan lantang berteriak “wahai masyarakat quraisy, sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, siapa yang ingin selamat didunia dan akhirat,
ikutilah dia”. Pernyataan tersebut mendapat kecaman dan membuat tokoh-tokoh
Quraisy marah terhadapnya. Dan pemukulan pun terjadi. Akan tetapi kaum Quraisy
tidak berani mengambil resiko untuk membunuh Abu Zar Alghifari, karena ia
berasal dari suku Ghifar.
Setelah tragedi pemukulan
tersebut, Abu Zar Alghifari memutuskan untuk kembali ke suku Ghifar, dan
menyampaikan dakwahnya disana. Dengan kerajinan dan ketekunannya, akhirnya ia
berhasil mengislamkan seluruh Suku Ghifar, bahkan suku Bani ‘Asylam yang juga
memiliki hubungan dekat dengan Suku Ghifar.
Begitu datang ke kota madinah, Rasulullah
SAW memuji kedua suku ini (Ghifar dan ‘Asylam) dengan kalimat. “Ghifar,
semoga Allah mengampuninya, Asylam, semoga Allah memberi kedamaian padanya”.
Dan ini adalah penghargaan Rasulullah terhadap kaum Abu Zar yang telah
menyatakan keislamannya.
Perang Thsabu, terjadi pada tahun
9 hijriah. Berlangsung saat kondisi cuaca yang panas dan ditambah gangguan kaum
munafik. Akan tetapi, hal ini tak membuat Abu Zar berpikir dua kali, ia sudah meyakinkan
dirinya untuk berperang dijalan Allah SWT. Ia datang sendirian, dengan keledai
yang telah tidak berdaya akibat kondisi alam yang sangat gersang. Meski sahabat
yang meragukan kedatangan Abu Zar Alghifari, akan tetapi Rasulullah SAW sudah
tau bahwa Abu Zar Alghifari akan datang, setelah Abu Zar Alghifari sampai, Rasulullah
SAW berkata “wahai Abu Zar, kau berjalan sendirian, kelak engkau akan
meninggal sendirian dan dibangkitkan sendirian”.
Kemenangan demi kemenangan serta
perluasan wilayah mebuat kaum muslimin hidup dalam kemapanan. Namun tidak
dengan Abu Zar Alghifari, ia menyumbang semua kekayaan jihadnya, lalu
memutuskan hidup sederhana. Ia memegang teguh prinsip untuk tidak menyimpan
harta. Ia menganggap orang yang menyimpan harta untuk esok dan seterusnya
merupakan orang yang hilang tawakkalnya. Apa lagi Abu Zar Alghifari adalah
orang yang sangat dalam penghayatannya saat mendengarkan nasihat rasulullah,
dan rasulullah pernah bersabda
“jika kalian bertawakkal
dengan sebenarnya tawakkal, kalian akan mendapatkan rezeki dari Allah,
sebagaimana Allah berikan rezeki pada burung, burung yang pergi dengan perut
kosong dan pulang dengan perut ang sudah kenyang”. Itulah yang membuat abu
zar yakin bahwa orang yang menyimpan harta merupakan orang yang rusak
tawakkalnya.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Abu
Zar Alghifari memilih untuk menyendiri di pedalaman pada saat kekhalifahan Abu
Bakar as Siddiqh dan Umar bin Khattab. Dan pernah Abu Zar Alghifari menetap di
syam, yang dipimpin oleh gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan saat kekhalifahan
Utsman bin ‘Affan. Melihat kemewahan hidup masyarakat syam, timbul gejolak
untuk menentang hal itu. Abu zar datang pada Muawiyah bin Abu Sufyan, dan
menentang kemewahan hidup masyarakat dan Muawiyah bi Abu Sufyan itu sendiri.
Muawiyah bin Abu Sufyan merasa tidak nyaman, dan mengirim surat kepada khalifah
Utsman bin ‘Affan. Khalifah langsung mengambil suatu tindakan untuk memanggil
Abu Zar dan menetap di Madinah. Namun Abu Zar Alghifari menolak mentah-mentah.
Dan memilih tinggal di Rhabazah, sebuah wilayah kosong yang jaraknya 200 KM
dari kota madinah.
Disinilah Abu Zar Alghifari menghabiskan
sisa hidupnya, bersama keluarganya ia hidup menyendiri penuh dengan
kesederhanaan. Bahkan ketika ajal datang Abu Zar Alghifari tidak mempunyai kain
untuk mengkafani jenazahnya. Dan ini adalah bukti perkataan Rsulullah SAW bahwa
Abu Zar Alghifari, seorang sahabat yang wafat dipengasingan (mengasingkan
diri). Ketika itu lewat Abdullah bin Mas’ud seorang khafilah dagang. Dan
berkata isteri Abu Zar Alghifari kepadanya “ini adalah abu zar, sahabat
rasulullah”. Abdullah langsung menangis dan teringat akan kata Rasulullah SAW “wahai
Abu Zar, kau berjalan sendirian, kelak engkau akan meninggal sendirian dan
dibangkitkan sendirian”.
Komentar
Posting Komentar